Kamis, 23 Desember 2010

Sistem Rujukan Kedokteran Keluarga

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Terwujudnya keadaan sehat merupakan kehendak semua pihak tidak hanya oleh orang perorang atau keluarga, tetapi juga oleh kelompok dan bahkan oleh seluruh anggota masyarakat. Untuk mewujudkan keadaan sehat tersebut banyak upaya yang harus dilaksanakan, diantaranya adalah upaya promotif, preventif, kuratif dan rehabilitatif yang dilakukan secara menyeluruh oleh dokter keluarga. Dimana tanggung jawab dokter terhadap pelayanan kesehatan tidak dibatasi oleh golongan umur atau jenis kelamin pasien.

Namun, dalam pelaksanaannya pelayanan kedokteran keluarga terhadap pasien harus disesuiakan dengan kemampuannya. Dan tidak dibenarkan untuk selalu merujuk setiap pasiennya meskipun dokter keluarga berperan sebagai koordinator rujukan yang dibutuhkan oleh pasien.

Apabila menghadapi masalah kesehatan khusus yang tidak dapat ditanggulangi, dokter keluarga harus melakukan konsultasi maupun rujukan. Adakalanya cukup dengan melakukan konsultasi kepada dokter lain yang lebih ahli pada bidang tertentu, tetapi kadang perlu langsung merujuknya agar memperoleh penanganan dokter ahli tersebut sesuai kewenangannya.

Dokter keluarga diharapkan dapat menjalin komunikasi dan hubungan baik dengan sejawatnya dengan berbagai bidang keahlian agar memudahkan konsultasi atau perujukan jika suatu saat diperlukan untuk pasiennya.

Konsultasi dan rukukan pasien merupakan kesatuan pelayanan yang harus dilakukan oleh dokter keluarga agar dapat menjamin dan meningkatkan kepuasan pasien serta keberhasilan pelayanan.

B. Tujuan

Tujuan penulisan makalah ini adalah untuk menambah ilmu pengetahuan mengenai sistem rujukan kedokteran keluarga yang berhubungan dengan upaya promotif, preventif, kuratif dan rehabilitatif yang dilakukan oleh dokter keluarga. Serta sebagai bentuk pemenuhan tugas pada mata kuliah Ilmu Sosial Budaya semester 3 Fakultas Kedokteran Undip.

BAB II

PEMBAHASAN

A. Pengertian Konsultasi dan Rujukan Kedokteran Keluarga

Konsultasi adalah upaya meminta bantuan profesional terkait penangan suatu kasus penyakit yang sedang ditangani oleh seorang dokter, kepada dokter lain yang lebih ahli di bidangnya. Namun kewenangan penanganan masih berada pada dokter keluarga yang bersangkutan.

Rujukan adalah upaya melimpahkan wewenang dan tanggung jawab penanganan kasus penyakit yang sedang ditangani oleh seorang dokter kepada dokter lain yang sesuai.

Konsultasi dapat dilakukan mendahului rujukan, namun tidak jarang langsung melakukan rujukan. Meskipun demikian, ada kalanya keduanya dipergunakan bersama-sama.

Rujukan dalam pelayanan kedokteran ini umumnya kepada pelayan yang lebih tinggi ilmu, peralatan dan strata yang lebih tinggi dalam rangka mengatasi kasus atau problem tersebut.

Tantangan yang harus dihadapi pada sistem rujukan dokter keluarga di indonesia adalah terkait UU No.29 tahun 2004 tentang praktik kedokteran. Kewajiban Dokter ialah merujuk ke dokter atau dokter gigi lain yang lebih baik, apabila tidak mampu melakukan suatu pemeriksaan atau pengobatan (Pasal 51)

Ketentuan pidana kurungan paling lama satu tahun atau denda paling banyak 50.000.000,- setiap dokter atau dokter gigi yang sengaja tidak memenuhi kewajiban tersebut.

Di Indonesia dikenal beberapa macam rujukan, antara lain adalah :

1. Rujukan Medis

Merupakan bentuk pelimpahan wewenang dan tanggung jawab untuk masalah kedokteran. Tujuannya adalah untuk mengatasi problem kesehatan, khususnya kedokteran serta memulihkan status kesehatan pasien.

Jenis-jenis rujukan medis :

☻ Rujukan Pasien

Merupakan penatalaksanaan pasien dari strata pelayanan kesehatan yang kurang mampu ke strata yang lebih sempurna atau sebaliknya untuk pelayanan tindak lanjut.

☻ Rujukan Ilmu Pengetahuan

Merupakan pengiriman dokter atau tenaga kesehatan yang lebih ahli dari strata pelayanan kesehatan yang lebih mampu untuk bimbingan dan diskusi atau sebaliknya, untuk mengikuti pendidikan dan pelatihan.

☻ Rujukan bahan pemeriksaan laboratorium

Merupakan bahan pengiriman bahan-bahan laboratorium dari strata pelayan kesehatan yang kurang mampu ke strata yang lebih mampu, atau sebaliknya untuk tindak lanjut.

2. Rujukan Kesehatan

Merupakan pelimpahan wewenang dan tanggung jawab untuk kesehatan masyarakat. Dengan tujuan meningkatkan derajat kesehatan dan ataupun mencegah penyakit yang ada di masyarakat.

Jenis-jenis rujukan kesehatan adalah :

☻ Rujukan Tenaga

Merupakan pengiriman dokter/tenaga kesehatan dari strata pelayanan kesehatan yang lebih mampu ke strata pelayanan kesehatan yang kurang mampu untuk menanggulangi masalah kesehatan yang ada di masyarakat atau sebaliknya, untuk pendidikan dan latihan.

☻Rujukan Sarana

Pengiriman berbagai peralatan medis/ non medis dari strata pelayanan kesehatan yg lebih mampu ke strata pelayanan kesehatan yang kurang mampu untuk menanggulangi masalah kesehatan di masyarakat, atau sebaliknya untuk tindak lanjut

☻ Rujukan Operasional

Pelimpahan wewenang dan tanggungjawab penanggulangan masalah kesehatan

masyarakat dari strata pelayanan kesehatan yang kurang mampu ke strata pelayanan kesehatan yang lebih mampu atau sebaliknya untuk pelayanan tindak lanjut.

Karakteristik konsultasi dan rujukan :

1. Ruang lingkup kegiatan. Konsultasi memintakan bantuan profesional dari pihak

ketiga. Rujukan, melimpahkan wewenang dan tanggung jawab penanganan kasus penyakit yang sedang dihadapi kepada pihak ketiga.

2. Kemampuan dokter. Konsultasi ditujukan kepada dokter yang lebih ahli dan atau yang lebih pengalaman. Pada rujukan hal ini tidak mutlak.

3. Wewenang dan tanggung jawab. Konsultasi wewenang dan tanggung jawab tetap pada dokter yang meminta konsultasi. Pada rujukan sebaliknya.

B. Manfaat serta Masalah Konsultasi dan Rujukan

Manfaat konsultasi dan rujukan :

1. Meningkatkan pengetahuan dan keterampilan (bila sistemnya berjalan sesuai dengan yang seharusnya)

2. Kebutuhan dan tuntutan kesehatan pasien akan terpenuhi (terbentuk team work)

Masalah konsultasi dan rujukan

1. Rasa kurang percaya pasien terhadap dokter (bila rujukan/konsultasi inisiatif dokter)

2. Rasa kurang senang pada diri dokter (bila rujukan/ konsultasi atas permintaan pasien)

3. Bila tidak ada jawaban dari konsultasi

4. Bila tidak sependapat dengan saran/tindakan dokter konsultan

5. Bila ada pembatas (sikap/ perilaku,biaya, transportasi)

6. Apabila pasien tidak bersedia untuk dikonsultasikan dan ataupun dirujuk.

C. Tata Laksana Konsultasi dan Rujukan

Dasarnya adalah kepatuhan terhadap kode etik profesi yg telah disepakati bersama, dan sistem kesehatan terutama sub sistem pembiayaan kesehatan yang berlaku.

Konsultasi (McWhinney, 1981):

a. Penjelasan lengkap kepada pasien alasan untuk konsultasi

b. Berkomunikasi secara langsung dengan dokter konsultan (surat, formulir khusus, catatan di rekam medis, formal/ informal lewat telefon)

c. Keterangan lengkap tentang pasien

d. Konsultan bersedia memberikan konsultasi

Tata cara rujukan

• Pasien harus dijelaskan selengkap mungkin alasan akan dilakukan konsultasi dan rujukan. Penjelasan ini sangat perlu, terutama jika menyangkut hal-hal yang peka, seperti dokter ahli tertentu.

• Dokter yang melakukan konsultasi harus melakukan komunikasi langsung dengan dokter yang dimintai konsultasi. Biasanya berupa surat atau bentuk tertulis yang memuat informasi secara lengkap tentang identitas, riwayat penyakit dan penanganan yang dilakukan oleh dokter keluarga.

• Keterangan yang disampaikan tentang pasien yang dikonsultasikan harus selengkap mungkin. Tujuan konsultasi pun harus jelas, apakah hanya untuk memastikan diagnosis, menginterpretasikan hasil pemeriksaaan khusus, memintakan nasihat pengobatan atau yang lainnya.

• Sesuai dengan kode etik profesi, seyogianya dokter dimintakan konsultasi wajib memberikan bantuan profesional yang diperlukan. Apabila merasa diluar keahliannya, harus menasihatkan agar berkonsultasi ke dokter ahli lain yang lebih seuai.

• Terbatas hanya pada masalah penyakit yang dirujuk saja

• Tetap berkomunikasi antara dokter konsultan dan dokter yg meminta rujukan

• Perlu disepakati pembagian wewenang dan tanggungjawab masing-masing pihak

Pembagian wewenang & tanggungjawab

1. Interval referral, pelimpahan wewenang dan tanggungjawab penderita sepenuhnya kepada dokter konsultan untuk jangka waktu tertentu, dan selama jangka waktu tersebut dokter tsb tidak ikut menanganinya.

2. Collateral referral, menyerahkan wewenang dan tanggungjawab penanganan penderita hanya untuk satu masalah kedokteran khusus saja.

3. Cross referral, menyerahkan wewenang dan tanggungjawab penanganan penderita sepenuhnya kepada dokter lain untuk selamanya.

4. Split referral, menyerahkan wewenang dan tanggungjawab penanganan penderita sepenuhnya kepada beberapa dokter konsultan, dan selama jangka waktu pelimpahan wewenang dan tanggungjawab tersebut dokter pemberi rujukan tidak ikut campur.

BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan

Dokter keluarga melimpahkan wewenang dan tanggungjawab kepada dokter lain berkaitan dengan kasus penyakit atau gangguan yang dimintakan rujukan tersebut. Meskipun pelimpahan wewenang merupakan hal yang biasa dalam dunia kedokteran, namun perlu diingat bahwa dalam praktek kedokteran keluarga, pelimpahan kewenangan tersebut sifatnya tidak tetap, melainkan hanya pada penyakit yang dirujuk saja. Penanganan selanjutnya dari masalah kesehatan pasien tetap menjadi tanggung jawab dan wewenang dokter keluarga.

B. Saran

Dokter keluarga mempunyai tanggungjawab untuk mendampingi pasien sewaktu dirujuk agar tetap berada dalam pengawasannya. Selain itu, diperlukan komunikasi yang baik antara dokter keluarga dan pasiennya mengenai tatalaksana dan alasan rujukan yang akan dilaksanakan agar tidak terjadi kesalahpahaman ataupun kekeliruan.

DAFTAR PUSTAKA

Anies. 2006. Kedokteran Keluarga & Pelayanan Kedokteran yang Bermutu. Semarang

http://ocw.usu.ac.id

Selasa, 16 November 2010

Penyakit Asma Akibat Kerja

Latar Belakang

Di era globalisasi yang penuh dengan tantangan dan persaingan ketat ini, orang-orang semakin giat untuk mencari mata pencaharian yang sesuai dan dapat memenuhi kebutuhan hidupnya. Terkadang banyak orang melupakan kesehatan dan keselamatan dirinya sendiri ketika bekerja diliuar rumah. Dalam melakukan pekerjaan apapun sebenarnya setiap orang beresiko mengalami gangguan kesehatan atau penyakit yang ditimbulkan oleh pekerjaan tersebut walaupun risiko penyakit akibat kerja ini bervariasi mulai dari yang paling ringan sampai yang paling berat, tergantung jenis pekerjaannya.

WHO membedakan empat kategori Penyakit Akibat Kerja, yaitu :

1. Penyakit yang hanya disebabkan oleh pekerjaan, misalnya Pneumoconiosis.

2. Penyakit yang salah satu penyebabnya adalah pekerjaan, misalnya Karsinoma Bronkhogenik

3. Penyakit dengan pekerjaan merupakan salah satu penyebab diantara faktor-faktor penyabab lainnya, misalnya bronchitis kronis.

4. Penyakit dimana pekerjaan memperberat suatu kondisi yang sudah ada sebelumnya, conthnya asma

Banyak instansi pemerintah maupun perusahaan swasta lainnya yang mulai mementingkan keselamatan dan kesehatan pekerjanya dengan upaya promotif maupun preventif dari dokter perusahaan yang sengaja disewa oleh perusahaan agar dapat mencegah dan menekan tingkat penyakit akibat kerja pada karyawannya.

Pengetahuan mengenai penyakit akibat kerja ini penting diketahui oleh para pekerja di perusahaan negara maupun swasta. Dengan meningkatnya derjat kesehatan pekerja, maka produktivitas kerja pekerja pun akan semakin baik dan meningkat.

Kasus Penyakit Akibat Kerja

Penyakit akibat kerja adalah penyakit yang disebabkan oleh pekerjaan, alat kerja, bahan, proses maupun lingkungan kerja, sehingga disebutkan penyakit ini brsifat artifisial atau ditimbulkan oleh manusia itu sendiri.

Salah satu contoh kasus asma dialami oleh seorang pekerja sebuah pabrik pengolahan kayu yang memiliki gejala batuk, sesak nafas dan rasa berat di dada. Disamping gejala asma itu, yang lebih sering pekerja akan mengalami gejala gangguan hidung dan pernafasan di tempat kerja. Gejala biasanya bertambah parah selama jam kerja dan menjadi membaik ketika pasien kembali ke rumah. Biasanya gejala memburuk pada akhir minggu dan akan sangat membaik selama masa cuti atau libur.

Karyawan/pekerja pabrik pengolahan kayu tersebut diduga mengalami penyakit asma akibat kerja yang ditimbulkan oleh penghirupan melalui saluran pernafasan (inhalasi) agen-agen sensitisasi atau iritan yang terdapat dalang lingkungan pabrik tersebut. Zat yang dapat merangsang hiper-reaksi dari bronchus sehingga mengakibatkan sesak nafas pada kasus ini diduga adalah debu kayu yang diolah di pabrik tersebut.

Secara klinis asma akibat kerja sama dengan asma yang bukan karena kerja. Beberapa penelitian menemukan bahwa lamanya paparan setelah gejala timbul dan beratnya asma saat diagnosa ditegakkan sangat menentukan prognosis.

Asma Akibat Kerja (AAK) ditandai dengan obstruksi saluran napas yang variabel dan bronkus hiperesponsif yang disebabkan oleh inflamasi bronkial akut dan kronis. Hal tersebut bermula dari inhalasi debu, uap, gas yang diproduksi atau digunakan karyawan atau secara tidak sengaja ditemukan dalam lingkungan kerja.

Gejala klinik hiper-reaksi bronchus dan asma kimia idntik dengan asma bukan akibat kerja, ditandai dengan sesak nafas, mengi atau berbunyi “ngik ngik” saat bernafas, serta gangguan fungsi paru tipe obstruktif.

Reaksi hipersensitivitas lambat mulai beberapa jam setelah paparan pertama, seringkali setelah jam kerja atau di malam hari, dan pemulihan memerlukan waktu lebih dari 24 jam. Sedangkan serangan asma yang ditimbulkan oleh iritasi biasanya timbul selama atau segera setelah paparan. Beberapa iritan menginduksi efek setelah suatu masa laten beberapa jam.

Meskpiun pada kebanyakan individu gejala-gejala asma berhenti jika tidak ada paparan lebih lanjut, tetapi pada sebagian kasus dapat terjadi asma yang memanjang meskipun sudah tidak ada kontak dengan agen tertentu. Kasus yang demikian perlu dicurigai adanya kontak lingkungan yang berkelanjutan dengan suatu agen, atau reaksi silang dengan alergen non-okupasional lainnya.

Solusi Kasus Penyakit akibat Kerja

Bila telah terjadi asma akibat kerja, maka pemindahan ke luar lingkungan kerja merupakan hal penting. Apabila karena sesuatu hal tidak bisa dipindahkan maka harus dilakukan upaya pencegahan dan pemantauan penurunan fungsi paru.

Evaluasi fungsi paru secara berkala pada pekerja yang sudah menderita asma akibat kerja diperlukan untuk mencegah kecacatan. Klinis asma akan menetap sampai beberapa tahun meskipun pekerja tersebut sudah keluar dari lingkungan kerjanya.

Pengobatan medikamentosa pada pasien asma akibat kerja sama seperti asma bronkial pada umumnya.

☻Teofilin, merupakan bronkodilator dan dapat menekan neutrophil chemotactic factor . Efektifitas kedua fungsi di atas tergantung dari kadar serum teofilin.

Agonis beta, merupakan bronkodilator yang paling baik untuk pengobatan asma akibat kerja dibandingkan dengan antagonis kolinergik (ipratropium bromid).

Kombinasi agonis beta dengan ipratropium bromid memperbaiki fungsi paru lebih baik dibanding hanya beta agonist saja.

Kortikosteroid, dari berbagai penelitian diketahui dapat mencegah bronkokonstriksi yang disebabkan oleh provokasi bronkus menggunakan alergen. Selain itu juga akan memperbaiki fungsi paru, menurunkan eksaserbasi dan hiperesponsivitas saluran nafas dan pada akhirnya akan memperbaiki kualitas hidup.

Kesimpulan dan Saran

Kesimpulan :

Asma akibat kerja adalah asma karena paparan zat di tempat kerja. Secara klinis asma akibat kerja sama dengan asma yang bukan karena kerja. Beberapa penelitian menemukan bahwa lamanya paparan setelah gejala timbul dan beratnya asma saat diagnosa ditegakkan sangat menentukan prognosis. Selain itu, menghindari paparan alergen penyebab ternyata hanya memberi kesembuhan 50 % penderita. Penelitian retrospektif menunjukkan gejala asma, obstruksi bronkus, dan hiperreaktivitas menetap walau tidak ada paparan alergen lagi. Dengan demikian, jelas tindakan preventif yang tepat sangat diperlukan.

Pencegahan tingkat kedua dengan deteksi diri pekerja yang menderita penyakit tersebut dan menghentikan paparan lebih lanjut. Ini akan mengurangi tingkat keganasan penyakit, sehingga tidak menjadi lebih berat. Dokter perusahaan harus melakukan pemantauan medis secara rutin, khususnya pada pekerja yang banyak terpapar alergen.

Tindakan di tingkat tersier adalah menghindarkan pekerja yang telah terdiagnosis dari lingkungan kerja sebelumnya yang banyak alergen, ke lingkungan kerja bebas alergen. Hal ini akan mencegah kerusakan akibat asma dan hiperreaktivitas yang menetap.

Asma akibat kerja yang menjadi permanen, menyebabkan penderita memiliki disabilitas, harus pindah bekerja di bidang lain, bertambahnya biaya pengobatan, dan turunnya kualitas hidup. Karenanya, perusahaan tempat ia berkerja dan mendapat asma seharusnya memberikan kompensasi.

Saran :

Penegakan diagnosis Penyakit Akibat Kerja masih merupakan masalah di Indonesia. Diperlukan minat dan pengetahuan yang khusus untuk dapat menegakkan diagnosis Penyakit Akibat Kerja. Untuk mengatasi masalah tersebut, selain perlu ditingkatkan pendidikan bagi dokter dalam bidang kedokteran kerja, juga perlu dikembangkan suatu sistem rujukan, baik di tingkat nasional maupun daerah. Dikembangkannya klinik-klinik Kedokteran Kerja di Indonesia dapat membantu permasalahan yang dihadapi.